Bayangkan, Amerika Serikat saja perlu waktu sampai 100 tahun untuk bisa
mendapatkan tanaman Anggur yang adaptif dengan cara menyilangkan dengan
Anggur liar yang hidup disana. Sedangkan kita tidak memiliki anggur liar
itu, tentu saja lebih panjang lagi kan?
Peran ini sebagian ada pada pundak peneliti-peneliti kita, meski harus
kita akui bahwa saat ini Balai-balai Penelitian kita masih kayak berada
di menara gading, jauh tinggi, yang hasil penelitiannya jarang
terpublikasikan! Namun keluarnya bibit buah anggur seperti Probolinggo
Biru, serie BS, Bali dan kemudian muncul yang manis dimakan sebagai buah
seperti Moscato, Belgie dan Prabu Bestari dari Kebun Percobaan
Banjarsari-Probolinggo memberi harapan baru bahwa merekalah pelopor
munculnya bibit-bibit adaptif di negeri ini. Karena kita tahu tanaman
anggur bukan tanaman asli, tapi kita punya lahan ribuan hektar yang
cocok untuk tanaman exclusive ini. Kita miris kalau melihat bagaimana
membanjirnya impor buah anggur, padahal kita jelas mampu swasemabada,
tentunya tanpa bermaksud mengekspor karena pasaran dunia sudah jenuh
dengan anggur.
Kita juga masih ingat dan bangga betapa Jambu Getas Merah yang jadi
penakluk ampuh Demam Berdarah (DB) dihasilkan dari silangan Jambu
Bangkok dan jambu lokal oleh peneliti di RC Getas-Salatiga (sayangnya
sekarang kembali fokus meneliti karet saja). Itu betul-betul prestasi
yang perlu diacungi jempol tinggi-tinggi.
Atau coba dengarkan kisah/sejarah yang diceritakan dengan manis oleh
Onny Untung dalam bukunya "Jenis dan Budidaya Apel" tentang bagaimana
bisa ditemukannya apel kebanggan kita Apel Manalagi:
Apel unggul ini pertama kali ditemukan di Kebun percobaan Banaran, Batu -
Malang oleh Surachmat Kusumo, peneliti senior di Sub Balai Penelitian
Hortikultura, Pasar Minggu.
Konon varitas ini dulu bernama Gandon karena berasal dari desa Gandon. Diduga ia merupakan introduksi dari Belanda, namanya zoote achaart yang yang
berarti manis. Namun karena di Belanda (bahkan Eropa) tidak ada
kultivar yang mirip ciri-ciri Gandon maka ia dianggap asli Indonesia.
Pada tahun 1967 di Banaran hanya ada satu pohon apel Gandon berusia lima
tahun. Oleh karena dagingnya kurang lezat dan rasanya hanya manis maka
ia tidak dirawat dan dikembangkan. Untung saja dua tahun kemudian,
begitu mata cabang apael Gandon diokulasi pada 1000 cabang Rome Beuty,
maka mutu buahnya ternyata menjadi sungguh memuaskan. Masyarakatpun
mulai mengenal keistimewaan apel Gandon pada tahun 1970 dan terus
berkembang sampai kini dengan nama Manalagi.
Saya terharu tiap kali membaca kisah di atas, maka saya begitu
menghargai tanaman buah unggul yang ada sekarang karena ternyata hasil
perjuangan yang panjang untuk mendapatkannya. Cayoooo.....